Senin, 03 Oktober 2011

“PELACUR” JUGA PEREMPUAN


Rutinitas pagi masih berputar pada siklusnya. Memutar dan sampai pada titik “Tuak Daun Merah menuju kampus FK Undana”.
Senin pagi yang biasa, di sudut angkot (angkutan kota) seperti biasa. Namun yang tak biasa adalah hari itu saya ingin memperhatikan setiap hal yang ada dibalik kaca angkot. Kendaraan-kendaraan berseliweran, semuanya berpacu dengan waktu tanpa tahu bahwa saya sedang memperhatikan mereka. Roda-roda berputar membawa pengendaranya, ada yang tersenyum dengan lipstik tebal, ada yang mengerutkan dahi dan tak sabaran di lampu merah.

Mereka semuanya berpakaian. Tentu saja, semuanya berpakaian. Dan pakaian merekalah yang akan membawa mereka pada tujuan mereka pagi ini. Ke kantor manapun mereka pergi, semua bisa ditebak dari pakaian, bukan?
Lalu bagaimana dengan yang tidak berseragam seperti saya? Yup, peluang kecil untuk bisa menebak dengan benar. Karena itu saya hanya bisa berpikir orang-orang ini tidak cocok kerja di air, makanya tempat bekerja mereka di darat. Hehehe…

Ketika saya sedang memikirkan pekerjaan yang tidak perlu memakai seragam, tiba-tiba saya teringat akan seseorang. Seseorang yang awalnya tidak kami tahu apa pekerjaannya, seseorang berusia akhir 30an tahun yang menyewa kamar di kos-kosan oma, seseorang yang dipandang dan dipandangi hina oleh tetangga, seseorang yang akhirnya di usir oleh pejabat pemerintah dan warga setempat, seseorang yang semua orang memanggilnya denga sebutan pelacur (saya tidak tahu apa ada sebutan lain yang lebih halus yang bisa dimengerti semua orang selain pelacur karena itu saya tetap memakai kata pelacur dengan tanda kutip untuk kata berikutnya).
Saya tidak tahu dimana dia berada sekarang, yang saya tahu saya sedang memikirkannya saat itu dan enam tahun lalu sebelumnya.

Kebiasaan begadang membuat saya masih terjaga di tengah malam mendengar langkah kakinya pulang entah dari tempat mana. Setiap siang seusai pulang sekolah (saat itu saya masih di Sekolah Menengah Atas) saya selalu mendapatinya duduk di teras rumah oma. Bila tidak sibuk, saya menyempatkan untuk mengobrol dengannya. Sedikit pun saya tidak merasa malu bercerita dengannya meskipun saya tahu pekerjaannya. Saya tidak peduli dengan anggapan orang-orang, yang penting saya tidak melakukan suatu kesalahan yang merugikan saya ataupun orang lain.

Suatu siang yang panas, dia bercerita tentang kehidupannya padahal saya tidak pernah dan tidak memiliki maksud untuk bertanya tentang kehidupannya. Dia bercerita tentang bagaimana rasanya tidak dihargai oleh suami dan keluarganya hanya karena dia tidak berpendidikan tinggi.  Diejek dan tidak diberi kesempatan dan kepercayaan mengurus urusan finansial keluarga bahkan terkadang mengalami beberapa tindakan kekerasan.
Kepahitan-kepahitan itulah yang akhirnya menjadi sebuah rotan beracun yang memukul hati dan punggungnya untuk berlari dan melampiaskan pada tujuan yang salah. Mengajarkan arti kehilangan pada orang-orang yang dikasihinya dengan cara menghancurkan masa depannya sendiri. Menghukum mereka dengan rasa malu. Katanya biarkanlah semua orang tahu bahwa suaminya mempunyai istri seorang “pelacur”.
Suaminya pernah mencarinya dan mengajaknya pulang, tapi dia tak ingin kembali. Sudah terlambat dan dia tak bisa kembali lagi pada kehidupan manisnya.

Waktu itu saya hanya bisa mendengar. Takut dan terkesiap. Saya terlalu takut mengeluarkan suara sedikit pun ketika dia bercerita dengan kebencian yang mendalam dan mata yang berkaca-kaca. Menulis hal ini pun membuat saya merinding memikirkan betapa kuatnya kepahitan masa lalu bisa merusak hidupnya dan kepahitan itu membuatnya memiliki kekuatan merusak kehidupan orang lain. Dan yang membuat saya terkesiap adalah setelah menceritakan itu, dia berharap jangan ada lagi perempuan-perempuan yang bekerja seperti dirinya. Dia mengatakan agar saya harus belajar dari pengalaman hidupnya dan meskipun dia memiliki hati yang keras, dengan lembut dia berkata tepatnya menasihati saya untuk bersekolah yang baik, mendapatkan perkerjaan yang baik, mendapatkan suami dan keluarga yang baik yang bisa menghargai seorang perempuan dengan baik. Diakhir nasihatnya dia berkata bahwa dia sebenarnya tidak pantas menasihati saya, tapi dia melakukannya karena dia seorang perempuan dan saya seorang perempuan.

Seorang perempuan, siapapun dan bagaimana pun dia yang memberikan nasihat seperti itu walaupun sederhana namun memiliki makna yang tak terbatas dan menyentuh sampai tingkat hati yang tak peka sekalipun. Kamu mungkin tidak mendengar nasihat seperti itu dari mulut seorang yang disebut “pelacur” tetapi dari ibu, saudara atau sahabat perempuanmu. Tapi tentunya hal itu memiliki makna yang sama bila yang memberi nasihat sepeti itu adalah seorang perempuan. Karena itu, jika ibumu, saudara dan sahabatmu adalah seorang perempuan, maka dia yang disebut “pelacur” pun adalah perempuan yang hatinya sama dengan perempuan-perempuan lainnya.

Beberapa waktu kemudian perempuan itu pun diusir dengan paksa dari tempat kos oma dan oma dituduh telah menampung dan melindungi orang yang merupakan sampah masyarakat. Saat kejadian itu, saya sedang berlibur ke luar kota namun mendengar hal itu membuat hati saya terusik dengan cara kasar mereka.
Dia juga perempuan yang berhak diperlakukan baik-baik meskipun banyak yang menganggapnya bukan perempuan baik-baik. Dia juga perempuan yang akan pergi bila orang lain dengan cara yang pantas menyuruhnya pergi, dia juga perempuan yang bisa menangis ketika semua orang menghakiminya, mengumpatnya, meneriakinya dengan sebutan-sebutan kotor.
Namun karena dia seorang “pelacur” dia terpaksa membuang hati perempuannya ketika meniduri seorang lelaki dan selama kepahitan masa lalunya masih menguasainya.

Dimanapun dia berada saat ini, sebagai seorang perempuan saya mendoakan yang terbaik untuknya. Mendoakan agar dia jangan lagi membuang hati perempuannya untuk alasan apapun termasuk kepahitan-kepahitan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar